Kebudayaan Masa Lampau "Pengaruh Kristenisasi di Maluku Tengah"

Mela Maulani
170510150001
Dosen : Ira Indrawardana, M.Si.
Gadis Shintya
Masriah
170510150004
170510150029
Artiket Pengaruh Kristenisasi di Maluku Tengah
Niken Flora Rinjani
170510150038


KRISTENISASI DI MALUKU TENGAH
A.    PENDAHULUAN
Konflik sosial bernuansa SARA adalah sebuah peristiwa yang mengharu-birukan hubungan antara agama dan adat istiadat Maluku Tengah. Dampaknya terasa di masyarakat dalam bentuk pemisahan di antara penganut agama, islam dan kristen. Sementara itu, masyarakat adat Maluku Tengah, islam dan kristen adalah sebagai orang bersaudara atau dalam bahasa sehari-hari orang basudara (orang bersaudara). Mereka diikat dalam tali persaudaraan, sekalipun mereka hidup berjauhan dari satu desa ke desa lainnya, tetapi mereka tetap akan saling tetap memberitahukan saudaranya tentang kegiatan-kegiatan adat, seperti pelantikan raja atau kegiatan sosial keagamaan seperti pengresmian gereja atau masjid. Dalam perayaan atau peringatan seperti disebutkan di atas, maka desa saudaranya pasti datang. Kehadiran gereja dengan pelayannanya yang dimaksudkan adalah nilai-nilai kekerabatan atau tatalaku tradisional yang secara luas berlaku di masyarakat Maluku Tengah. Nilai-nilai adat itu tersimpul dalam kearifan lokal, yang menghubungkan masyarakat Islam-Kristen.
Karena Missi Katolik dan di kemudian hari Gereja Protestan paling berkembang di Indonesia Timur, keadaan di sana, khususnya di Maluku, hendak digambarkan lebih terinci. Wilayah Maluku terpecah belah dari sudut etnis, politis, dan religius. Penduduknya termasuk berbagai suku, yang masing-masing mempunyai bahasa sendiri. Di kawasan Maluku Utara terdapat beberapa kerajaan, antara lain Ternate dan Tidore. Di bagian lain Maluku tiap-tiap kampung berdiri sendiri, tetapi pengaruh Ternate dan Tidore semakin meluas. Mulai dari paroan kedua abad ke-15, sebagian orang Maluku menerima agama Islam, khususnya para raja di utara, yang kemudian menyandang gelar sultan, dan penduduk jazirah Hitu di Pulau Ambon. Tetapi sebagian lagi berpegang pada agama suku, antara lain sebagian besar penduduk Halmahera dan kampung-kampung di jazirah Leitimor. Akhirnya perlu disebut bahwa penduduk Maluku terbagi menurut pola dualistis, yang memper­ten­tangkan golongan Patasiwa dan Patalima. Ternate termasuk kaum Patalima, Tidore kaum Patasiwa. Keadaan ini melahirkan peperangan terus-menerus. Di tengah dunia yang bergejolak ini, orang Portugis yang masuk pada awal abad ke-16 hanya merupakan satu kekuatan di tengah begitu banyak kekuatan lain; mereka tidak dapat menentukan sendiri haluan yang hendak mereka tempuh, tetapi lebih banyak harus bereaksi terhadap aksi pihak lain.

B.     Hubungan Agama dan Adat Istiadat di Maluku Tengah
Konflik Maluku adalah sebuah tragedi kemanusiaan paling buruk yang telah melanda masyarakat islam dan krissten di sana. Sekalipun berat penuh kekkejaman dan sulit dilupakan begitu saja. Perisstiwa itu adalah sebuah evaluasi historis bagi hubungan gereja dan adat suku pihak dan hubungan islam-kristen di lain pihak. Tragedi ini menggambarkan antiklimaks dari keluhuran hubungan antara nilai-nilai agama dan adat di Maluku, khusunya di Maluku Tengah.
Nilai itu ialah persaudaraan, saling menghormati, saling membantu dan saling melindungi dalam simpul kearifan lokal Maluku Tengah. Dari kandungan nilai-nilai luhur itu, mestinya tidak terjadi permusuhan, perperangan sampai saling membunuh, seperti yang terjadi hampir setiap hari selama konflik pecah. Selama konflik bergelora, yang ada hanya dua pihak yaitu kristen dan islam. Tidak ada dan tidak berlaku faham kekerabatan yang merupakan manifestasi dari hubungan-hubungan hidup orang bersaudara yang beda agama, ada kristen dan ada islam.
1.      Gereja dan Adat Sebelum Konflik
Agama kristen protestan masuk di Maluku Tengah pada tahun 1602, bersamaan dengan kedatangan bangsa Belanda ke Maluku. Ia menggantikan agama kristen katolik yang pertama masuk di Maluku pada tahun 1512, yang dibawa oleh penjajah Portugis. Selama perjumpaan itu, ada sisi negatif dan ada sisi positifnya.
Sisi negatifnya adalah agama menempatakan adat sebagi nilai yang lebih rendah dari ajaran agama kristen protestan. Indikasinya nampak dalam penegasan bahwa semua pemahaman dan praktek adat adalah kafir (Cooley 1987:198-201). Simbol-simbol adat yang ada di jemaat, semuanya dimusnahkan sebab semuanya merupakan manifestasi nilai-nilai kafir, berdosa, ajaran iblis dan menyesatkan. Tempat-tempat pamali, patung-patung bahasa asli dan nilai-nilai relasional serta pandangan hisup masyarakat lokal secara luas dimusnahkan.
Pendeta sebagai pendekar tedepan gereja di jemaat, menjadi pahlawan pemusnahan terhadap adat. Akibatnya di desa-desa protestan di Maluku pad aumumnya dan di Maluku tengah pad akhususnya, bahasa daerah telah hilang. Terutama bahasa adat, yang rumusannya adakah bahasa tua atau bahasa tanah ketika kepala adat menyampaikan maksud upacara tertentu kepada para leluhur yang masih ditemukan ada sedikit bahasa daerah yaitu di tiga desa protestan di Hulaliu, Aboru pulau Haruku Sama dan Alang pulau Ambon.
Ada kaitan pemahaman dan perlakuan di atas dengan menjadi penganut kristen protestan setelah dibaptis dan menerima apa yang di sebut pangkat sarani (cooley 1987:276-279). Gelar ini adalah sebuah ketinggian status sebagai anggita jemaat yang dipandang lebih tinggi dari anggota masyarakat yang belum di baktis. Status ini tidak hanya menyangkut pengakuan keanggotaannya dalam persekutuan gereja ketika seseorang itu dibaptis dan menjadi anggota jemaat. Ia juga berkaitan dengan pengkuan untung ruginya ke masa depan. Sisi untungnya berarti ia diterima dikalangan elite ekonomi dan dikalangan gereja. Secara ekonomis, pangkat sarani menunjuk pada akses komunikasi dengan orang Belanda.
Sisi positifnya adalah kemajuan di bidang pendidikan dan peningkatan kualitas hidup sebagai anggota masyarakat. Ada dua subyek yang berperan disini, yaitu melalui gereja-gereja dan melalui sekolah-sekolah protestan. Melalui gereja pengajaran dan perluasan pemahaman intelektual adalah rangsangan tersendiri tentang luasnya pengetahuan anggota jemaat. Khotbah katekisasi, pengajaran agama di sekolah minggu dan tunas pekabaran injil, pengajaran dan pelayanan pastoral di tiap organisasi gerejawi, adalah materi yang sangat kaya dan mendasar bagi perluasan pengetahuan anggota jamaat. Demikian juga melaui sekolah-sekolah protestan, pada murid dididik dngan  pendidikan agama, ilmu pengetahuan umum dan bahasa. Dapat disimpulkan bahwa menjadi orang kristen protestan yang berarti meninggalkan adat, maka hidup seorang akan lebih baik.
2.      Gereja dan Adat Selama Konflik
Indikasi selama konflik menunjukan bahwa tempat-tempat ibadah selalu penuh sesak dengan anggota jemaat. Persejutuan-persekutuan ibadah dan do’a (disebut ibadah posko) selalu penuh sesak kebanjiran umat. Begitu juga dengan persiapan bertahan dan berperang melawan kelompok penyerang harus dimulai dengan doa. Isi do’a hanya terpusat kepada yang maha kuasa, Allah tritunggal Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dalam bahasa sesehari orang di Ambon do’a kepada tuhan disebut do’a kepada tete manis. Tete, berarti kakek atau deorang tua yang baik hati dan penolong. Lain halnya di masyarakat adat, selain do’a dengan bahasa tanah atau bahasa daerah yang sudah sangat tua, tetapi ada juga demonstrasi kekuatan leluhur atau upu lanite yang sangat ditonjolkan. Upacara dan do’a-do’a memanggil kuasa dari gunung dan tanjung, simbol kekuatan roh leluhur nenek moyang menggema. Tiup-tiup atau memberi tuah kepada perlengkapan perang seperti : senapan rakitan, panah, parang, dan bom dijumpai hampir di semua anggota pasukan.
3.      Gereja dan Adat Sesudah Konflik
Sesudah konflik, terlihat bawha pemahaman tentang perlindungan tuhan di antara agama dan adat mulai positif. Kondisi ini ditunjukan dalam pemahaman masyarakat tentang ikatan yang mengalami pembaruan. Masyarakat mulai menunjukan kesdaran terhadap ikatan kekerabatannya itu. Kerinduan itu mulai menyata ketika ada prakarsa pribadi-pribadi yang mencari jalan sendiri untuk bertemu dengan saudaranya. Orang desa Batu Merah yang terletak di pusat kota Ambon secara pribadi mulai bertemu dengan saudara-saudaranya orang desa Passo yang terletak di pinggir kota Ambon. Mereka berjumpa di pasar atau di terminal, bahkan ada yang datang langsung ke desa Passo. Demikian juga sebaliknya pribadi-pribadi warga Passo datang ke warga desa Batu Merah. Di tingkat pimpinan desapun nampak kemajuan, ada kunjungan raja Passo ke Batu Merah dan juga sebaliknya. Semuanya ini menunjukan pulihnya kembali hubungan ikatan diantara kedua desa itu. Indikasi lain yang muncul dalam bentuk yang lebih besar terlihat dari warga hunungan mulai saling mengunjungi antar desa dan diikuti dengan partisipasi masyarakat dalam ikut membangun gedung-gedung ibadah, seperti gereja di desa kristen dan masjid di desa islam.

DAFTAR PUSTAKA



Komentar

Postingan Populer