Keluarga Piara "Berbicara Tentang Makan"
Minggu, 15 Oktober 2017
Foto ini mengingatkan kembali pada
cerita-cerita berharga yang telah saya lalui bersama mereka. Iya, keluarga
piara di Negeri Haruku. Entah mengapa saya masih merasa bersalah sampai
sekarang, atas makanan yang tidak dihabiskan. saya pikir ini adalah hal sepele,
tetapi ternyata ada sebuah kesedihan dibalik tidak memakan masakan mama. Betul,
sepiring ubi yang tidak saya habiskan waktu itu. Foto ini diambil ketika
keluarga piaraku hendak pergi ke gereja. saya sangat menunggu sekali momen ini
datang, karena hari-hari biasa, mama tidak ada di rumah dan rutinitas
sehari-harinya mengajar di sebuah SMP di Negeri Oma.
Sudah dua jam waktu makan siang
berlalu, namun mama piara belum juga makan karena tak ingin makan siang lebih
dulu dari saya. Dia akhirnya menunggu, selalu menunggu bersama bapak. Entah
mengapa hal itu selalu terjadi, ingin rasanya makan bersama dengan mereka
tetapi saya selalu makan berdua saja dengan Ona, anak sematawayang mama dan
bapa piaraku. Hal yang sangat saya suka berawal dari makan yang harus tiga kali
dalam sehari. Berbeda sekali dengan kebiasaan saya adat kebudayaan sunda, makan
bebas saja, bisa kapan saja dan mau habis atau tidak. Tetapi di negeri Haruku
ini berbeda sekali. Mama selalu masak dan bertanya dulu sebelumnya “Mela, mau mama masakan apa hari ini, untuk
nanti malam? Mela suka makan ikan asap tidak? Nanti mama buatkan colo-colo to”.
Begitulah kata-kata yang selalu terngiang dalam pikiran dan ingatan saya sampai
sekarang. Rasa rindu yang ingin kembali membawa diri ini ke tanah yang saya
jatuh hati pada orang dan tempatnya.
Suatu siang, aku mencoba mengajak
mama piara makan bersama di meja makan, tetapi mama selalu menolak untuk itu.
Ia lebih ke memperhatikan bagaimana cara saya makan masakannya, tatapan matanya
penuh harap seakan saya harus menghabiskan semua makanannya. Awalnya saya
merasa heran hari-hari pertama di rumah piara. Kenapa makan harus diliatin,
kenapa pas saya makan selalu ditatap dan disuruh harus nambah terus makanannya.
Lama-kelamaan saya mulai mengerti. Ouh, mamaku memperhatikan dalam tatapannya “Mela harus habiskan makanannya to, nanti
supaya kegiatannya tidak lapar, dan habiskan teh manisnya” kata mama piara.
Saya senang kala itu, banyak terdapat
makanan yang tidak ada dan jarang sekali di daerah asal saya. Makan dengan
lahap sehingga melupakan ubi yang sekilas saya ceritakan di atas. Hari pertama
tepatnya, saya disuguhi teh manis hangat, ubi rebus, pisang goreng dan beberapa
makanan yang sebelumnya tidak terbayang di benak saya. Mama terus menatap,
seperti saya ini orang luar angkasa yang baru pertama kali mama liat.
Memperhatikan cara makan saya yang malah menggunakan tangan padahal sudah
disiapkan sendok dan garpu oleh mama, sempat berbicara juga karena piring
kecilnya tidak digunakan. Hal yang saya temui di Maluku khususnya di negeri
Haruku ini, ketika hendak makan piring yang disediakan selalu ada dua, besar
dan kecil. Saya bertanya-tanya, buat apa piring kecilnya, kepakai ngga, dan
malah memperbanyak pekerjaan untuk membereskannya lagi setelah makan. Alhasil
setelah saya terus perhatikan dan mencari jawaban juga ketika makan di mama
piaranya teman-teman, piring kecil itu untuk wadah tulang ataupun kuah
colo-colo.
Ternyata belum selesai pula mengenai
ubi rebus. Ketika hari-hari pertama saya masih malu-malu, lalu mama bertanya “Mela, kenapa tidak makan ubi masakan mama,
Mela tidak suka kah?”. Pertanyaan
yang sederhana namun membuat mama bersedih kala itu. Saya tidak memikirkannya
dan dengan polosnya bilang, “Mela sudah
kenyang mama. Hehe”. Betapa jahatnya saya setelah tau makna dari mama
bertanya seperti itu dengan tatapan yang masih saya ingat sampai sekarang.
Matnya yang penuh harap, alisnya yang mengngerenyut dan sedikit agak sendu.
Saya menanggapinya biasa saja dan memang kalau sudah kenyang apa harus dipaksa
untuk menghabiskan semua makanannya? Pikiran terbodoh kala itu.
Keesokan harinya, makan pagi selalu
dilewatkan tanpa mama, bapa dan Ona. Mereka terkadang sudah tidak ada dirumah
dan saya merasa sendiri ketika waktu-waktu itu datang. Makan sendiri,
menyapukan lantai rumah, mandi lalu pergi ke Rumah Kewang. Sudah seperti rumah
sendiri dan lingkungan sendiri. Ketika waktu makan siang tiba sekitar pukul
13.15 WIT, saya kembali ke rumah untuk makan siang, karena teman-teman yang
lain pun seperti itu, sempat saya ditelpon oleh bapa untuk sekedar disuruh
dulu pulang ke rumah dan makan siang. Akhirnya pulang ke rumah dan mama sudah
menyiapkan semua makanan untuk saya makan bersama Ona. Lalu mama berkata “Mama tidak masakan lagi ubi, soalnya Mela
tidak makan, mama pikir Mela tidak suka ubi, jadi mama tidak masakan ubi hari
ini”. pikirku biasa saja, tapi yang
membuat kaget adalah raut wajah mama. Mama seperti kesal namun sedih yang saya
perhatikan. Apakah gara-gara sepiring ubi? Iya,jelas ternyata dan saya baru
sadar ketika itu juga. Merasa bersalah iya, ga enak iya, pengen minta maaf
gimana, wah semua rasa ada pas makan siang kala itu. Selesainya makan, saya
langsung memberanikan diri untuk berbicara bahwa saya ingin makan ubi atau
pisang goreng. Ternyata dengan semangatnya mama langsung menjawab dengan nada
bicara yang halus dan sumeringah, “nanti
besok mama masakan ubi to, supaya Mela bisa makan dan dibekal”. Berawal dari
sanalah saya mmpunyai julukan di tim Haruku.
Hari-hari telah berlalu, sampai saya
merasa galau karena ketika makan siang kadang mama dan bapa tidak ada di rumah.
Sifat saya yang ingin mencoba berbagai hal, membuat saya dua kali bolos makan
siang dirumah. Entah itu pas pergi ke negeri Oma yang membuat tidak sempat
pulang ke rumah, dan memang bolos makan siang untuk sekedar berpetualang ke
dusun sagu dan numpang makan di rumah piara teman yang lain. Malu sih numpang
makan, tetapi pas saya tiba di Kampung Baru, mama piara lain sangat senang
karena dapat kunjungan dari saya. Dengan alasan pergi ke dusun sagu, saya
mengirim pesan singkat kepada bapa piara untuk tidak bisa ikut makan siang di
rumah.
Puncaknya pada saat saya bolos makan
siang untuk ketiga kalinya dan yang ini lebih parah gara-gara sms saya tidak
sampai kepada bapa piara. Tepatnya sekitar pukul 18.15 saya masih main di
Kampung Baru, tiba-tiba handphone berdering dan ternyata bapa piara yang telpon
dan mengharuskan saya untuk segera pulang. Saya langsung buru-buru pulang dari
Kampung Baru dan setibanya di rumah. Jeng jeng..... mama sudah menyiapkan makanan
namun sebelumnya berkata, “Mela kemana
saja, mama khawatir. Mela tidak angkat telpon mama, tidak pulang makan siang ke
rumah, mama tunggu dan Ona menanyakan kak Mela pulang kapan. Mama sedih, Mela
tidak pulang ke rumah, makan siang dimana to? Mela tidak lapar? Mama suruh bapa
buat cari Mela tapi bapa juga tidak tau Mela sedang dimana”. Kurang lebih
seperti itu ungkapannya, sambil mama mengelus-elus tanagan saya, menatap mata
yang benar-benar terlihat khawatir, bapa juga sudah menunggu di depan pintu
rumah pada saat saya datang. Betapa malu dan sedihnya saya disitu, betapa mama
piara sangat peduli sedangkan sayanya sendiri malah asik berpetualang. Hanya bisa
nunduk dan minta maaf. Di sanalah saya berniat untuk pulang terus ke rumah,
menghabiskan banyak waktu dengan bapa mama piara, main bersama Ona dan
teman-temannya.
Lalu hingga akhirnya, setiap saya
pergi ke rumah kewang selalu membawa makanan, entah itu ubi rebus, singkong
goreng, berbagai macam kue, jajanan, sampai teh manis selalu saya simpan di
botol air minum dan dibekal ketika hendak pergi ke rumah kewang ataupun mau
pergi ke lapangan. Teman-teman saya yang lain merasa iri kepada saya karena
benar-benar-benar-benarrrrrr diperlakukan seperti anak kandung sendiri. “ih ko Mela dibekelin terus makanan, baik
banget lah mama piaranya”. Ungkapan teman-teman hari pertama saya bawa
makanan ke rumah kewang. Selanjutnya “wihh
selalu nih bawa bekel, kaya anak SD ya kamu Mel, dibekelin terus makanan,
sekarang bawa pisang goreng, kemarin ubi rebus. Hehe”. Ungkapan kedua. Lagi,
saat itu saya membawa kue yang masih hangat, hampir mirip dengan Babenka (kue
khas negeri Haruku). “kue apa ini Mel, ko
enak sih di bawain bekel terus. Mela nih, jadi seksi konsumsi sekarang di tim
kita. Haha”. Itulah beberapa ungkapan teman-teman tim, sampai akhirnya saya
mendapat julukan seksi konsumsi di tim ini, sampai saya membuat mereka kenyang
ketika berjalan-jalan dengan bekal pisang gorek sekeresek, sampai saya membuat
mama senang karena makanannya semua saya bawa dan saya habiskan bareng dengan
teman-teman.
Sampai pada hari-hari terakhir di
negeri Haruku, tepatnya tiga hari terakhir. Mama dan Ona selalu mengantar saya
sampai ke rumah piaranya teman saya yang dekat dengan rumah kami, sembari
mampir dulu ke warung dan mama membelikan kue jajanan untuk saya bekal. Disana saya
merasa wahh paling beruntung, diantarkan selalu ketika mau ke rumah Kewang,
dibekali jajanan terus, diliatin terus sampai saya benar-benar tidak kelihatan
oleh mereka, sambil melambaikan tangan dan dadah-dadahan. Terharunya saya
disitu, disisi lain dengan perbedaan yang terlihat diantara kita. Kadang saya
berbikir apakah bakal bisa mengobrol dengan keluarga piara yang berbeda keyakinan, begaul bersama mereka
dan dirumahnya pun banyak lukisan dan foto khas umat kristiani sedangkan saya
disini seorang muslim dan berkerdung. Ternyata ketakutan saya dipatahkan oleh keramahan
mereka, oleh peduli dan toleransinya mereka. Saya merasa damai selama tinggal
disana, seperti saya dan mereka tidak ada perbedaan dan memang tidak ada
perbedaan walaupun status memang berbeda. Saya nyaman beribadah dan melakukan
aktivitas sehari-hari, tidak terbatasi dan pertama kali saya masuk gereja
adalah di Negeri Haruku.
Inilah fotonya, foto yang saya
tunggu-tunggu. Bangun pagi menyiapakan kamera dengan tripodnya, sambil menunggu
mama bapa dan Ona siap-siap untuk pergi ke Gereja. Hari Minggu ini yang saya
tunggu, dikala bapa dan mama tidak bekerja, Ona libur sekolah, semuanya ada di
rumah. Tepat sebelum pergi ke gereja, kami berfoto di ruang tengah, mereka
begitu rapih berpakaian dan sayapun tidak mau ketinggalan. Perbedaan memang nampak tapi
saya sendiri merasa tidak ada perbedaan disana, saya senang, damai bahagia ada
bersama mereka. Sampai akhirnya,
keluarga piara pergi ke gereja dan saya pun pergi ke rumah Kewang (sambil
membawa bekal pisang dan ubi rebus tentunya yang sudah disiapkan oleh mama). Rasa
bahagia dan aman terus menyelimuti kala itu, namun pikir saya kembali bersedih
ketika teringat tinggal beberapa hari lagi waktu bersama mereka.
Cerita selanjutnya akan kembali
dimuat di blog ini. sampai nanti ke cerita selanjutnya ya..
Komentar
Posting Komentar