Sejarah Jawa Barat

Sejarah Provinsi Jawa Barat
Temuan arkeologi di Anyer menunjukkan adanya budaya logam perunggu dan besi sejak sebelum milenium pertama. Gerabah tanah liat prasejarah zaman Buni (Bekasi kuno) dapat ditemukan merentang dari Anyer sampai Cirebon. Jawa Barat pada abad ke-5 merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara banyak tersebar di Jawa Barat. Ada tujuh prasasti yang ditulis dalam aksara Wengi (yang digunkan dalam masa Palawa India) dan bahasa Sansakerta yang sebagian besar menceritakan para raja Tarumanagara.
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara, kekuasaan di bagian barat Pulau Jawa dari Ujung Kulon sampai Kali Serayu dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Salah satu prasasti dari zaman Kerajaan Sunda adalah prasasti Kebon Kopi II yang berasal dari tahun 932. Kerajaan sunda beribukota di Pakuan Pajajaran (sekarang kota Bogor).
Pada abad ke-16, Kesultanan Demak tumbuh menjadi saingan ekonomi dan politik Kerajaan Sunda. Pelabuhan Cerbon (kelak menjadi Kota Cirebon) lepas dari Kerajaan Sunda karena pengaruh Kesultanan Demak. Pelabuhan ini kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Cirebon yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Pelabuhan Banten juga lepas ke tangan Kesultanan Cirebon dan kemudian tumbuh menjadi Kesultanan Banten.
Untuk menghadapi ancaman ini, Sri Baduga Maharaja, raja Sunda saat itu, meminta putranya, Surawisesa untuk membuat perjanjian pertahanan keamanan dengan orang Portugis di Malaka untuk mencegah jatuhnya pelabuhan utama, yaitu Sunda Kalapa, kepada Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Pada saat Surawisesa menjadi raja Sunda, dengan gelar Prabu Surawisesa Jayaperkosa, dibuatlah perjanjian pertahanan keamanan Sunda-Portugis, yang ditandai dengan Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal, ditandatangani dalam tahun 1512. Sebagai imbalannya, Portugis diberi akses untuk membangun benteng dan gudang di Sunda Kalapa serta akses untuk perdagangan di sana. Untuk merealisasikan perjanjian pertahanan keamanan tersebut, pada tahun 1522 didirikan suatu monumen batu yang disebut padrĂ£o di tepi Ci Liwung.
Meskipun perjanjian pertahanan keamanan dengan Portugis telah dibuat, pelaksanaannya tidak dapat terwujud karena pada tahun 1527 pasukan aliansi Cirebon - Demak, dibawah pimpinan Fatahilah atau Paletehan, menyerang dan menaklukkan pelabuhan Sunda Kalapa. Perang antara Kerajaan Sunda dan aliansi Cirebon - Demak berlangsung lima tahun sampai akhirnya pada tahun 1531 dibuat suatu perjanjian damai antara Prabu Surawisesa dengan Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon.
Dari tahun 1567 sampai 1579, dibawah pimpinan Raja Mulya, alias Prabu Surya Kencana, Kerajaan Sunda mengalami kemunduran besar dibawah tekanan Kesultanan Banten. Setelah tahun 1576, kerajaan Sunda tidak dapat mempertahankan Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda, dan akhirnya jatuh ke tangan Kesultanan Banten. Zaman pemerintahan Kesultanan Banten, wilayah Priangan (Jawa Barat bagian tenggara) jatuh ke tangan Kesultanan Mataram.
Jawa Barat sebagai pengertian administratif mulai digunakan pada tahun 1925 ketika Pemerintah Hindia Belanda membentuk Provinsi Jawa Barat. Pembentukan provinsi itu sebagai pelaksanaan Bestuurshervormingwet tahun 1922, yang membagi Hindia Belanda atas kesatuan-kesatuan daerah provinsi. Sebelum tahun 1925, digunakan istilah Soendalanden (Tatar Soenda) atau Pasoendan, sebagai istilah geografi untuk menyebut bagian Pulau Jawa di sebelah barat Sungai Cilosari dan Citanduy yang sebagian besar dihuni oleh penduduk yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu.
Pada 17 Agustus 1945, Jawa Barat bergabung menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Pada tanggal 27 Desember 1949 Jawa Barat menjadi Negara Pasundan yang merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.
Jawa Barat kembali bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1950.
Zaman Pra-sejarah dan Awal Peradaban
Propinsi Jawa Barat memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Dimana menurut data dan penelitian arkeologi, Tanah Sunda di awali pada masa pra-sejarah dengan adanya kelompok masyarakat yang telah lama menetap di Tanah Sunda sebelum tarikh masehi. Hal ini ditunjukkan melalui situs purbakala di Ciampea (Bogor); Kelapa Dua (Jakarta);Dataran Tinggi (Bandung) dan Cangkuang (Garut) dimana terdapat bukti bahwa lokasi-lokasi tersebut telah ditempati oleh kelompok masyarakat yang memiliki sitem kepercayaan, organisasi sosial, sitem mata pencaharian, pola pemukiman dan lain sebagainya sebagaimana layaknya kehidupan masyarakat manusia pada umumnya.
Zaman Mula Periode Sejarah Tanah Sunda
Era sejarah di Tanah Sunda baru dimulai pada sekitar abad ke-5 seiring ditemukannya artefak-artefak tertulis seperti beberapa prasasti yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa. Beberapa prasasti tersebut diketemukan di beberapa tempat yang saling berdekatan lokasinya yaitu di daerah Bogor, Bekasi dan Pandeglang.
Dari prasasti tersebut, ditemukan informasi bahwa pemilik prasasti tersebut adalah Kerajaan Tarumanegara yang memiliki raja bernama Purnawarman dan ibukotanya adalah Bekasi. Kerajaan ini bercorak Hindu dan memiliki sistem kasta sebagai bentuk stratifikasi sosial dan hubungan antar negara telah mulai terrwujud di Kerajaan Tarumanegara.
Pada awal abad ke-8 Kerajaan Tarumanegara dilanjutkan dengan kerajaan Sunda atau yang disebut dengan Kerajaan Pajajaran. Pusat kerajaan ini berada di Bogor pada masa sekarang. Kerajaan Pajajaran mengalami pasang surut hingga runtuh sekitar tahun 1579
Zaman Perubahan, Pergerakan dan Kemerdekaan
Periode ini dimulai pada awal abad ke-17 dimana Belanda melalui Kongsi dagangnya (VOC) mulai memasuki pantai utara pelabuhan Jayakarta dan mulai dikenalnya Kerajaan Mataram (pada masa ini peradaban Islam mulai masuk dan menyebar di Pulau Jawa  yang dibawa oleh para pedagang asing yang berdagang ke Jawa.
Pada awal abad ke-19 kekuasaan VOC-Belanda semakin terasa di seluruh daerah nusantara tidak terkecuali di Tanah Sunda sendiri. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa ini merupakan awal dari dimulainya kekuasaan Kolonial Hindia Belanda. Pada era ini, masyarakat dan Tanah Sunda dijadikan lahan eksploitasi tidak saja sumber daya alamnya yang kaya juga sumber daya manusianya melalui tanam paksa dan kerja rodi.
Keberadaan tanah Sunda dan potensinya membuat hasil ekploitasi tersebut menjadi sangat menguntungkan bagi Penguasa Kolonial baik bagi para rakyat Belanda di ndonesia maupun yang berada di Belanda itu sendiri. Hal ini berbanding terbalik dengan keadaan masyarakat pribumi khsusunya di Jawa Barat hidup didalam garis pederitaan serta banyak timbulnya kemiskinan. Namun dibalik wajah pribumi Jawa Barat yang mengalami nasib seperti ini, masih terdapat beberapa kecil golongan yang juga hidup berkelimpahan yaitu orang-orang pribumi yang hidup dengan berkerjasama serta dekat dengan penguasa Kolonial Belanda yang sering disebut dengan Kaum Menak.
Dibalik kedua hal tersebut, juga menciptakan beberapa kelompok perlawanan yang merasa tidak puas dan menggelorakan perlawanan terhadap penjajahan kolonial. Pemimpin-peminpin masyarakat ini antara lain : Dipati Ukur di Priangan (1628-1632), Sultan Ageng Tirtayasa dan Pangeran Purbaya di Banten (1659-1683), Prawatasari di Priangan (1705-1708), Bagus Rangin (1802-1818), Kyai Hassan Maulani di Kuningan (1842), Kyai Washid di Banten (1888), Kyai Hasan Arif di Garut (1918).
Selepas pendudukan Belanda datanglah Penjajah Jepang yang kala itu menggelar Perang Asia Raya terhadap bangsa Barat tidak terkecuali di Indonesia. Melalui kekuasaan Jepang, Belanda berhasil menyerah dan ditumbangkan di Kalijati, Subang tanggal 8 Maret 1942 dengan tanpa syarat). Jepang selain menjajah namun juga memberikan ilmu-ilmu strategi kepada rakyat Indonesia melalui PETA sehingga menimbulkan keberanian bagi rakyat pribumi Jawa Barat. Hal ini menjadi sebuah modal penting saat kemerdekaan Indonesia dimana kesemuanya itu menjadi sebuah pertahanan masyarakat Sunda dalam mempertahankan kemerdekaan dan tetap bersatu dan menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Arti Kata Sunda
Dalam buku Sejarah Sunda (Karya R. Ma'mun Atmamihardja tahun 1958) dimana arti kata Sunda dapat disimpulkan sebagai berikut :
  • Bahasa Sansekerta : Sunda artinya bersinar terang, nama Dewa Wisnu.
  • Bahasa Kawi            : Sunda artinya air, tumpukan, pangkat dan waspada.
  • Bahasa Jawa           : Sunda artinya bersusun, berganda, kata atau suara, naik.
Bahasa Sunda          : Sunda berarti bagus, indah, unggul, dan cantik



By. Mella Maulani

Komentar

Postingan Populer